Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Tentang Rasaku

Gubuk Sekuping, 28 November 2017 Tentang Rasaku (Karya : Wardah Munfaati)  Awalnya angin itu berhembus begitu saja Menyusuri setiap tepi rasa masing-masing Mengajak langkah untuk terus berhentak, tanpa hiraukan pulih pendih lampau Selalu memberi seribu tawa walau lontar katanya terasa hambar Sulit memang menyangkal seribu rasa yang mulai menyelisik dalam diri Seakan sosok yang telah tersurat dalam keterpurukan langkah Kau menjulurkan lenganmu tanpa keraguan sedikitpun padaku Saat beberapa kali aku melempar julurku pada satu sosok yang selalu tak acuh Namun, kali ini kudapati satu uluran yang begitu tulus Satu kali aku menatap rautnya Tepat, pada tempat itu Aku ingat betul dengan satu sosok yang tak pernah aku kenal sebelumnya Di tempat suci itu, tepat aku dan kau belum mengenal satu sama lain Namun,saat ini aku rasa jarak kita terlalu dekat Hingga terkadang aku berfikir, akan nyaman beriring langkah denganmu Namun, terkadang aku takut pula Takut akan bayang yang m

Rajut Lajurku

Gubuk Sekuping, 01 November 2017 Rajut Lajurku (Karya : Wardah Munfaati)  Tentang lintas rajutku~~~~ Hari ini tepat aku menjadi putri dewasamu Langkah kecilku mulai bias akan naluri jiwaku Putri mungilmu telah beranjak menjadi gadis dongengmu Gadis dongeng yang selalu kau impikan dalam bunga tidurku Hari ini, tepat saat terik Mentari begitu menyirai bumi Kau hadirkan aku ke kerumunan bingarnya dunia ini Tepat dua puluh tahun yang lalu, jerit tangisku hadir didekap hangatmu Kau  dekap aku dengan buih kasih sayangmu Kau kepal jemari kecilku, kau kecup kening mungilku Kaulah peri pertama lintas lajurku Dari tangan lemahmu kau suapi aku dengan ribuan makna Memapahku untuk merajut langkah demi langkah hingga aku dapat berlari meraih mimpi Bunda,terlalu angkuh rasanya jika aku tak butuh tuntunmu Rajut ini begitu keras, begitu rumit untuk aku melangkah sendiri Terima kasih telah memapah lajur rajutku Terima kasih atas ribuan makna yang telah kau berikan Sehat selalu, ka

Tadah Syairku

Baleraksa, 07 Oktober 2017 Tadah Syairku (Karya : Wardah Munfaati)  Lantang langkahku mulai tertatah Lembut ayunnya semakin merekah Hujan ini begitu menghujah Seperti halnya ramuan baitmu yang semakin menggugah Hatiku semakin terpaut akan doa yang selalu merangkah pada jalar langit yang megah Rasanya, begitu nispa raga ini akan rekah yang selalu Kau curah Nafasku, jantungku, bahkan oksigen yang selalu mengaliriku adalah anugrah Yang tak pernah padam Kau curahkan pada insan yang rasanya tak lumrah Tak lumrah menerima segala anugrah berkah Tak pantas rasanya jika terlalu hingar dengan rekah yang sementara ini Karena ragaku, bahkan jiwaku saja bukan kepunyaanku Karena dengan Kau mematah aliran oksigen saja, tamat sudah raga ini Di bawah rinangnya rintik ini, aku terpaut akan kuasa-Mu. #selamat petang😊 Tak pantas rasanya jika kita ingkar atas karunia yang selalu tercurah pada kitaa, kunci kebahagiaan itu sangat mudah yaitu dengan mensyukuri setiap rincih nikmat yang

Rindu Kasihku

Purwokerto, 27 September 2017 Rindu Kasihku (Karya : Wardah Munfaati)  Raungan itu benar benar terus menelisik dalam ragaku Sudah lama rasanya ia terus bersemayam dalam jiwa Sungguh berat rasanya aku menahan sesak desah nama itu Berulang kali aku menghempasnya tanpa acuh Mencongkel setiap bentuk makna yang terus mengarah padanya Sungguh sial rasanya aku harus beranggapan dia berfikir sama denganku Menahan rindu yang tak secuilpun ia merasakannya Berapa kali aku harus berlari, namun di muara hatimu lah aku bersemayam Berapa mil aku harus pergi darimu? Jika nyatanya saja ujung dari pelabuhan hatiku adalah dirimu Sebegitu istimewakah dirimu, hingga sajakku saja tak pernah habis aku rangkai untuk dirimu Berkali-kali rasanya aku selalu terjebak dalam jaring pikalmu Hingga aku sendiri tak bisa melepas jaring yang masih melekat ini Duhai hati, sebegitu bodohnyakah dirimu? Tak bisakah kau buang celah suram itu? Tak bisakah kau buang setiap ruang jejak itu? Sampai kapa

Kemana Aku Harus Mengadu

Kemana Aku Harus Mengadu (Karya : Wardah Munfaati)  Purwokerto, 12 September 2017 Kudapati diri dengan seribu bisu Terpaku dengan warna semu yang terus mengerumuni lingkupku Kakiku terasa berat seketika, tanganku terasa kaku untuk merangkai kata Seakan mehan seribu bisu yang tak pernah terbelak pintanya Kususuri setiap jeruji lingkup ruang ini Kupijakkan langkahku pada tanah harap ini Seribu fakta kutemui tentang ilusi negeri pertiwi Mereka berbincang tentang ruah limpah yang keliru disudut negeri ini Memaki setiap keadilan yang ada dengan penuh konspirasi Namun ketika bulir kekuasaan mengalir ,dengung makian itu terbius seketika Tak ada kata, tak ada juang yang perlu di pertahankan Sungguh aku terpana dengan pingkah kuasa itu Saat seribu kata mulai menghantam, kekuasaan mampu membius dengan sekejap mata Sungguh ironi pijak tanah rumah mimpiku ini Kemana aku harus mengadu? Jika di rumahku saja, aku seakan tak dianggap jika aku berlumur lumpur Mereka yang bergaris

Gilar Pijak Sajakku

Gilar Pijak Sajakku (Karya : Wardah Munfaati)  Purbalingga, 29 Agustus 2017 Malam ini tabir malam begitu sunyi Terang lampion mulai padam dan larut dalam dekap sang malam Untaian sajakku terus terbuai akan puih puih lantunan merdu sang belalang Aku terus menatap dinding dinding yang terus membisu mendekapku Merangkulku,dengan penuh rasa nyaman dan sunyi Masih aku ingat dengan jelas rajut kata yang terbuai dari lisan itu Begitu tenang dan anggun lirih katanya Waktu terus berlalu, hingga kata itu telah lusuh dan usang terpana akan waktu Namun otakku masih dengan sigap mengingat semua pijak kata yang terurai dari lisanmu Bahkan mengingat setiap desah abjad yang pernah kau lontarkan padaku Bagaimana bisa langkahku tak terbuai, jika bayangmu saja masih terpatri di tempat yang sama Puluhan orang terus berganti melabuhi lajurku, menarik lagkahku untuk merajut sajak tentangnya Namun, berkali kali aku tegaskan sajakku tak bisa aku rangkai atas nama siapapun Hingga aku tersa
Perih Pilu Saudaraku (Karya : Wardah Munfaati)  Karawang, 05 Agustus 2017 Tubuhku tersungkur, kakiku terperanjat dalam kerengkuhan bilik ruang jagad gurau.  Mataku terpekuk pada gadis kecil yang tengah terpingah.  Canda tawanya terasa terikat akan rekah mewah sang jagad.  Disungkurkan badan kecilnya pada wanita tua yang terlihat tegar disampingnya.  Kain kasa usang terbalut di kaki kanan wanita itu.  Menggendong ember kecil dengan kain jarit sebagai pengikat di punggungnya.  Kudapati senyum tipis yang begitu tulus di raut wajahnya.  Tak lupa aku lempar senyum dan sapaku pada sang wanita tua itu.  Terasa pingkah rasanya jikalau insan di jagad ini tak berpeluh kasih dengan seenggok insan yang dianggap kumuh ataupun keji.  Terasa busuk hatimu, saat tak tergetak ketika ribuan julur tangan menghampirimu untuk merengkuh asa.  Bahkan terasa usung pula hatimu ketika tak tergerak saat untuk melangkah menyelaraskan genggam pijaknya. Kita insa
Pijak Langkah Genggamku (Karya : Wardah Munfaati) Purwokerto, 01 Agustus 2017. Pijar malam terlihat begitu terang. Bising lalu lalang malam membungkam setiap cengkam langkahku. Kudapati bapak tua yang begitu semangat mengayuh langakah kakinya di seberang jalan. Kutatap setiap bingkis terang kerlip malam. Begitu tenang, begitu lalang hatiku. Perjalanan yang selalu aku segani dan aku nanti setiap waktu. Di pinggir jendela itu, aku duduk seorang diri dengan secangklong tas ransel yang biasa menjadi barang setiaku. Di pojok bangku itu, ku kaitkan setiap kata pengurah asa. Kutebarkan setiap angan dalam rangkai kata. Malam ini, sekian kalinya aku menuai perjalanan ini. Perjalanan malam yang menghujah sekian ribu rasa. Kutegaskan setiap lirih retak langkahku, walau esok rintang telah terlihat jelas. Kuberanikan pijak kakiku mengayuh walau karang terlihat membentang. Kupastikan Ridha-Nya selalu mengiringi langkahku. Sekian kalinya aku belajar atas perjalananku. Sejengka

Rajut Lajur Indahku

Tepian Syair Negeriku Karya : Wardah Munfaati Karawang, 14 Juli 2017 Singgah malam tengah aku susuri. Dekap senyapnya mendekapku dengan erat. Bak belati tak bersayap enggan menepis langkah jemariku. Lisanku terpaku akan kebisuan tombak tumpul jerat negeriku. Kakiku ingin melangkah tegas, setegas deru pingah sang Mentari. Namun langkahku terpingkal akan hujat sang penguasa. Kakiku tak berkutat seketika, terjerat akan jeruji pingkah rekayasa. Deru raya sang jelata bagai buih kicau yang tak pernah terjuntai keinginannya. Tak banyak topeng hitam menjadi tameng kehormatan lecut langkahnya. Dasi bergaris, jas menawan, sepatu mengkilap bagai prajurit pengiringnya. Tawa pingkalnya bagai insan yang tak terbius akan derita sang jelata. Hatiku tertegun, tak adakah nurani di hatimu wahai kau yang menganggap dirimu penguasa? Kau duduk diatas bangku wakil kami sang jelata. Bangkumu mengemban seribu amanah akan deru kicau kami. Langkahmu untuk merintis seribu damai negeri kita.

Bingkis Rinduku

Bingkis Rinduku Karya : Wardah Munfaati. Gempita malam begitu indah ku tempai. Gemercik alunan syahdu itu menyejukkan hatiku. Gaung degup kencang itu menyerkap rinduku. Sekumpul insan yang setiap saat bagai nutrisi hidupku. Setiap saat menopang bahkan memompa kibar semangatku. Benar, mereka adalah sekumpul insan yang aku sebut keluarga. Bingar hangatnya selalu ada walau jarak kita terpaut puluhan juta mil. Degup sayangnya selalu menyapa saat aku mulai letih akan gejolak hidup. Patri semangatnya selalu berkobar saat aku mulai melangkah mundur dan pasrah. Memang, terkadang bosan mendengar pecah nasihat sekumpul insan itu. Namun,rajut itu pula yang aku rindukan saat ini. Tawa mereka, lukis kecewa mereka, bahkan tangis mereka. Terkadang tak adil rasanya saat ritik tangis awan datang, karena saat itu pula rinduku memuncak setiap sekian detiknya. Saat ini putrimu tengah melangkah dI rawa rajut hidup. Merajut sekian ribu warna hidup untuk berbenah. Nasihatmu terpatri di hati

Gemuruh Negeriku

Gemuruh Negeriku Karya : Wardah Munfaati Sapa mentari terasa usung di senja hari. Negeri permai nan indahku terasa tertatih dengan bingkis perceraian. Negeri ini terasa riuk akan kegagahan keegoisan insan. Keegoisan ribuan insan yang ingin unggul di padang permai jagad. Ribuan raga berseru berkoar sekencang deru angin bagai muson yang ricuhkan alam. Ribuan media bercerita tentang gagahnya perselisihan di negeri ini. Berlomba seakan menara yang melejit samapai kelangit. Lumbung penerus yang menjadi pionir bangsa berseru merajut riuh argumentasi. Berkoar meminta sebuah keadilan, keadilan yang mereka pandang seadil adilnya. Tanpa mereka sadar, mereka bagai percikan api yang setiap waktu mampu membakar damai negeri ini. Di seberang jalan, banyak pula iblis jahat yang tertawa terpikal pikal dengan langgah bodohnya insan negeri ini. Tikus kota terus menggerogoti kuil emas aset negeri ini. Saudara, betapa indahnya negeriku tanpa pikuk riuh keegoisan dan topeng dusta sang

Salam Sunyi Rusukku

Gurat dinding terus menatap tebih garang jiwaku. Bagai puih yang terbaring lemah dalam balutan tebal kapas. Jemariku terus terjuntai dan bergerak lirih menerka setiap kata. Rahang raut mukaku terus berfikir dalam satu ruang. Imajinasiku terasa letih dengan satu nama yang terus membungkamnya. Lirih angin malam terasa damai seakan mengerti kemauan deras gercik doa ku. Ku sampaikan salam rinduku dalam setiap desah terpanya. Ku kaitkan setiap lirih doa ku agar sampai kepadanya. Tak berujung khayalku untuk terus membalutmu dengan kercik doa ku. Kau insan yang akan aku hormati setelah dua orang terkasihku. Kau pula insan yang akan merajut tenun hidup bersamaku. Kau insan yang akan menjadikanku Bidadari duniamu dan menyempurnakan larasku menjadi Bidadari syurgamu pula. Kau insan yang akan aku sebut sebagai Imam dalam aku menjalankan kewajibanku. Kau penuntun dan pelaras yang akan membawaku pada syurga-Nya. Genggamlah setiap lirih pesan doa ku. Karena aku yakin lirih doa kita ak

Pena Khayalku

Pena, ingin kutulis seribu kata bingkis keresahanku. Resah kata yang terasa beku dalam jiwa. Resah makna yang tak sebulir insanpun menerkanya. Pena, hanya kau lah kawan sunyi yang kan berlaras iring dengan sendu seribu kesahku. Yang akan menemani setiap lirih kata jemariku. Tak baik rasanya jika hanya hati yang terus meraung untuk dimengerti. Karena nitian besit kata jemarilah yang akan kuakan seribu kegundahan hati. Pena, tak pernahkah kau berkhayal untuk menjadi bingkis Indah dalam hidup seenggok jiwa?? Terimakasih atas kesetiaanmu dalam kesunyianku. Kau selalu membuat hatiku terasa lega, saat aku menuangkan setiap rekah gundah dan kesah hatiku. Terimakasih karena telah membuat lebar baru untuk hati yang tengah layu. Terimakasih penaku... *Pena Khayalku. Selamat Malam 😊 #Wardah Munfaati, 26Maret2017

Pesan Rusukku

Kutulis setiap sajak indahku, kurangkai sedemikian rupa kata lanturanku. Ku telusuri setiap jungkuh syair doaku, aku kaitkan setiap bulirnya teruntuk dirimu. Kau yang tak pernah aku tahu keberadaannya, kau yang selalu mematri diriku untuk terus melangkah, melangkah dan melangkah. Kau yang menjadi satu titik khayal penyempurnaku. Kau, yang selalu aku balut dengan rangkain bulir doaku. Kau lah tulang rusuk yang selama ini menjadi alasan untuk aku tak beranjak dari penantian panjangku ini. Jangan terlabur dengan seseorang yang kau anggap rusukmu, karena akulah rusukmu yang sesungguhnya. Aturlah langkahmu agar kau selalu pada naungan-Nya, karena kita pasti akan berjumpa pada lajur yang telah diatur oleh-Nya. *Pesan Rusukku Selamat pagi 😊 #20 Maret 2017 *Wardah Munfaati

Deru Dewi Malam

Bingkis sunyi malam ini mendekapku pada kerengkuhan. Pijakku semakin tegas namun tulis lajurnya aku tak bisa menerawang. Gelap malam mulai hingar diujung penglihatan, tatapan ilusi yang tercuah semakin berkeliaran. Hatiku semakin terengah akan bisik keruni para rintih. Alunan pujian terngiak dalam desah bisah bisanya. Aku termenung bahkan tersihir akan tajuban katanya. Kata yang sedarik lebih curam bahkan lebih tajam dari belati pusaka. Kian merajut kian mengikis tabur jernih liang buih mata. Hatiku tak setebal baja yang kau pijak ratusan kali. Kataku tak senyaring raung pilarmu. Karena aku wanita yang tak setara dengan belati raung katamu. Terlalu gagah rasanya jika aku seorang wanita mampu memekik tepih deru seru katamu. Akan kutegaskan, bahwa aku bukan permai baja yang sekuat kau kira. *Deru Dewi Malam #Selamat Malam 15Maret 2017_Wardah Munfaati

Sapa senja

Sapa senja Kau tahu ilusiku bukan sekedar ilusi semata, rajut langkahku Ku rangkai sedemikian rupa Dan Ku tabur dengan benih asa yang tercuak. Hatiku tak segarang Baja yang selalu kau tancapkan pada segelintir insan. Aurakupun tak sejungkuh tabur hitam, lantunku tak seindah lantunan syairmu. Karena aku tahu aku bukan aliran benteng hingar. Tepi sunyiku memang berbeda, tak sejangkah dengan sunyi sang malam. Aku adalah satu doa dimana sang asa mengiringiku, satu cercah bunga yang terpatri ribuan warna. Seringkali mereka menabur kesedihan Dan kepiliuan terhadap diri, tanpa mereka sadar bungapun bisa layu kapan saja. Hadirku bukan sekedar memberi harum maupun warna, namun guna hidup menjadi lebih berguna. Potongan senja. Selamat sore *Wardah_munfaati