Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Setiap Hari, Harimu

 Purbalingga, 22 Desember 2020 Setiap Hari, Harimu ( Karya : Wardah Munfaati ) Tak ada kata yang lebih indah dari kata "ibu" Setiap urai katanya bagai pelukan hangat yang tersirat  Setiap marahnya adalah kasih lebih karena kekhawatirannya  Cerewet dirinya adalah perhatian mesra yang nyata Setiap butir doanya adalah buah ajaib untuk anaknya  Berjuang menjadi sosok teladan yang tangguh  Membelai dengan hangat ketika diri terpuruk  Melunakkan hati yang keras dengan hati yang luas Sabar tanpa batas untuk menuntun diri  Kasihnya tiada tara, berjuang nya tiada tandingannya  Tangisnya membuat sesak di hati  Marahnya membuat diri intropeksi  Sadar diri hatiku tak seluas samudera hatimu  Ucapku yang di luar kendali selalu kau maklumi Marahku yang membara selalu kau padamkan dengan diamnya dirimu Kesabaranmu sungguh tanpa batas Kasih sayangmu tak pernah surut walau usiamu semakin bertambah  Terimakasih untuk pelukan hangat untuk diri semakin kuat Terimakasih untuk doa-doa yang terus ka

Mari Berdamai

 Baleraksa, 13 Desember 2020 Mari Berdamai ( Karya : Wardah Munfaati  ) Jarak telah lama menggugat  Rindu telah lama berkarat Cinta hanya omong kosong yang menggiring diri untuk berbohong Tak ada bekal percaya untuk melangkah  Tak ada rasa yang sama untuk terus menetap Hati tak beratap hingga tuan hilang sekejap Aku pamit, karena hati terjepit Aku pamit, karena semakin hari semakin sakit Mari berdamai, ucapan yang tepat untuk saling menepi Mari ikhlaskan, ucapan yang tepat untuk saling koreksi Percaya adalah modal utama Komitmen adalah pondasi kuatnya Tapi kita tak memilikinya hingga akhirnya sampai jumpa  Bukan sampai jumpa kembali, tapi sampai jumpa untuk tak saling kembali  Dan akhirnya aku pamit untuk undur diri

Kita yang Lupa Diri

Purbalingga, 26 September 2020 Kita yang Lupa Diri ( Karya : Wardah Munfaati  ) Berucap tanpa menatap, sekali ucap langsung menancap Dengar kata "katanya", jiwa ghibah langsung membara Mengagungkan pada mereka yang berharta Mengucilkan mereka yang tak punya Kesalahan diri menjadi maklum baginya, kesalahan yang lain menjadi buah bibir untuk digiring Buruk laku tetangga jadi buron omongannya, buruk laku sendiri jadikan diri lupa intropeksi  Mati hati sampai akhirnya lupa untuk berbenah diri Sekarang, dunia hanya butuh harta untuk menganggap kau saudara Kerabat dekat sekalipun, akan bersekat karena jumlah harta yang sekarat Media sosial menjadi panggung citra paling bergaya, sampai lupa dunia nyata Sudah petang mari kita berbenah untuk hari yang terang

Dilema Negeriku

Purbalingga, 17 Agustus 2020 Dilema Negeriku ( Karya : Wardah Munfaati ) Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka Seruannya sungguh nyata Tanah negeri dikikis habis untuk penguasa meringis Hutan hijau dibabat kuat untuk pejabat berlagak Pulau negeri dijual untuk modal terkenal Emas dikeruk untuk jiwa yang kemaruk Sawah melimpah malah untuk polah Merdeka sebutannya Bebas dari penjajahan katanya Tapi, makan nasi serat rasanya Garam di laut hambar rasanya Padi di sawah kopong rasanya Keringat buruh luntur hingga lusuh Petani kelaparan di tanah padi sendiri Pedagang menjual barang luar Pejabat berlagak dengan uang rakyat Merdeka teriaknya Penjajahan jeritannya

Ada yang Salah

Purbalingga, 26 Juli 2020 Ada yang Salah ( Karya : Wardah Munfaati)  Keliru mendengar namun mengakar Pilu mendera karena sebuah kata Kita berbisik keras, namun sembunyi dalam belukar Kita mengancam keras, namun fikir tak paham Jari asal ketik untuk mengulik Mata terus mengincar untuk sebuah umpan Ada yang Salah? Hati bergetar namun tak sadar Apa yang Salah? Hati terus berdengung namun fikir terus termenung Asal asal ikut untuk saling sikut Asal asal cepat agar bisa melompat Cepat berlari namun tak pandai intropeksi Hati itu dahsyat, niatnya sungguh mistis Ia tak nampak, namun geraknya cepat Berbisik keras dalam kesunyian Pengontrol jitu raga dirimu Apa yang Salah? Koreksilah niat hatimu

Etika Benteng Pertahanan Hakim

ETIKA BENTENG PERTAHANAN HAKIM SEBAGAI WAKIL TUHAN  ( Oleh : Wardah Munfaati)  Hukum adalah tonggak kuat dalam suatu negeri, dimana di dalamnya terbalut keberlangsungan masa depan pencari keadilan. Di dalam hukum kebebasan seseorang menjadi terbatas, dalam hukum pula nyawa seseorang bisa dirampas hanya dengan sebuah ketukan palu oleh seseorang yang disebut  sebagai wakil Tuhan.  Namun, seringkali yang disebut wakil Tuhan sebagai tonggak sebuah keadilan lalai akan fungsi jati diri profesinya. Seringkali mereka berbuat culas pada pencari keadilan, namun berkawan manis dengan pendosa yang benar-benar berbuat kejahatan. Hal ini tak lain pula karena si wakil Tuhan lupa diri dan mengajar nafsu semata. Keadilan yang dibuatnya seringkali berpihak pada mereka yang ber-uang, memiliki jabatan tinggi, dan populer namanya. Sedangkan pada mereka yang lusuh, tak punya banyak uang, tak punya jabatan, sebelah mata pun enggan untuk memandangnya. Padahal masa depan mereka tergantung pada ketukan pa

Kita Lambat

Purbalingga, 29 Mei 2020 Kita Lambat (Karya : Wardah Munfaati)  Sesekali berjalan lah di hamparan luas harapnya Telusuri lebih dalam makna hatinya Berjalanlah, susuri dengan pasti tiap-tiap dinding hatinya Tengoklah, ada segurat nama menempel di dalamnya Kecil, walau buram masih ada sedikit makna disetiap lengkungan goresnya Tersenyumlah, itu dia namamu Nama yang kau anggap tak pernah ada dihatinya Nama yang kau anggap tak ada makna untuk dirinya Kita berda di jalan yang sama tanpa menyadarinya Kita berjalan dengan rasa yang sama, namun terasa asing saat bersama Kita berusaha merajut benang yang sama, tapi kita lambat menyadarinya Berjalan dengan waktu yang lama, berusaha melawan luka yang sama Dan lagi, jangan sampai kita lambat menyadarinya Lambat dengan rasa yang sama

Pintu Rinduku

Purbalingga, 29 Mei 2020 Pintu Rinduku (Karya : Wardah Munfaati)  Rindu bukan sebuah kata tanpa rasa Ia menggebu di dalam jiwa, menyesakkan rasa di dalam dada Bukan sekadar kata tanpa makna di dalamnya Ada putus asa yang terus menggerogotinya Ada kecemasan yang terus membayanginya Ada luka yang setiap waktu bertambah parah rasanya Hati tak karuan saat temu tak kunjung datang Semua dirasa ancaman karena minimnya kepercayaan Semua dipandang salah karena jiwa yang bermasalah Kata terasa beku karena tak kunjung temu Respon semakin ketus karena hati panas terus Hati merindu namun lidah terasa kelu Ada hati yang lemas karena ucap melemas Ada hati yang merindu karena sabar untuk sebuah temu

Si Kerdil Bisa Apa?

Purbalingga, 20 April 2020 Si Kerdil Bisa Apa?  (Karya : Wardah Munfaati)  Seolah tak berarti saat di pandang, dan tak pernah di dengar seruannya. Suara berkoar namun hening di permukaan, tertekan akan kekuasaan yang menghadang. Tiap hari harap-harap cemas dengan PHK sana sini. Jualan ditawar sampai tuna pula kita dapati. Perjuangan kita dianggap sebelah mata. Nada halus dengan makna menyayat hati adalah makanan sehari-hari. Dianggap remeh dikira bodoh tanpa Budi pekerti. Mereka yang bermahkota berbeda. Menjadi penggerak masa hanya untuk menjadi mandornya. Tunjuk sana sini menganggap diri paling mengerti. Si kerdil kekuasaan bisa apa? Dianggap parasit yang memilukan mata. Dianggap bodoh karena kemiskinannya. Pembawa virus mematikan kata penguasa. Kami bisa apa? Semua ladang kau lirik sampai habis. Semua ikan kau lahap dengan puas. Bahkan air di gunung pun kau kuras sampai tak bisa menangis. Tak ada yang tersisa, hanya rintih si kerdil saja yang terasa sia-sia.

Kita Tentram

Purwokerto, 20 Maret 2020 Kita Tentram (Karya : Wardah Munfaati)  Sejenak membuang arogansi diri untuk berdiri. Bukan berdiri kuat dengan jiwa otoritarian. Mengulurkan tangan untuk sebuah rasa kemanusiaan. Kesampingkan warna yang berbeda untuk sebuah persatuan. Hilangkan rasa saling tebas untuk menjulang kemenangan. Genggam erat perbedaan untuk kesatuan. Pantang mundur tolak godaan perpecahan. Tingkatkan kepedulian sebagai senjata andalan. Bersimpangan dengan amarah akan membuat jiwa semakin gerah. Mari kita kemas keributan yang menyesakkan. Mari kita tutup dan padamkan api yang semakin membesar. Saling menggenggam adalah tujuan untuk kita yang semakin tentram.

Lembaran Baru

Purwokerto, 10 Februari 2020 Lembaran Baru ( Karya : Wardah Munfaati)  Katanya, komitmen itu tentang keistiqomahan. Menjaga sesuatu agar tetap ajeg. Membangunnya tak cukup satu dua hari. Awalnya mungkin tentang terpaksa, terbiasa, dan akhirnya bisa. Ketika siklus bisa muncul, istiqomah datang memantapkan hati. Begitu pula dengan dirimu, datang disaat luka menganga, mengobati luka, dan akhirnya menutup luka. Komitmen tak melulu soal status belaka. Tak melulu tentang temu belaka pula. Ia lebih pada kemantapan hati, lebih pada kepercayaan hati, dan kejujuran hati. Tak apa jika harus berjarak, tak apa jika tak saling temu. Komitmen menjadi penghubung kuat sekat. Dan menunggu salah satu buah komitmen yang tangguh. Bagaimana dengan komitmenmu? Jika tak ada temu, hati semakin merindu. Jika tak berkabar, hati semakin bergetar. Jika dia baik untukmu, dan kau baik untuknya. Jodoh tak akan kemana. Tak ada salahnya jika komitmen masih kau jaga.

Terik

Purwokerto, 17 Februari 2020 Terik ( Karya : Wardah Munfaati)  Terik menyengat, lampu merah tanda berhenti menyala. Menunggu beberapa detik dengan jamuan pemandangan jalan. Terlihat bapak pengayuh sepeda dengan barang bawaan di kiri kanannya. Dikeluarkan bekal di plastik bening dari samping kursinya. Si sopir makan dengan lahap sambil mengamati lampu lalu lintas. Tas slempang menempel di tubuhnya dengan pecahan uang receh di dalamnya. Anak kecil dengan atasan putih dan celana merah terlihat di sisi kanan jalan membawa kresek putih, membuka pintu mobil putih dan terlihat masuk dengan nyaman. Tak lama aku sampai tujuan, membayar ongkos dan menerima kembalian. Berjalan kaki dan terus fokus pada handphone di genggaman. Terlihat gadis kecil dengan krudung merah sedang asik menjemur baju di bawah terik sinar matahari. Di sisi lain kutemui dua bocah cilik yang sedang asik melompat-lompat seperti sedang memainkan sebuah permainan. Ku sapa bapak penjaga pos di sisi kiri jalan, t

Ada Apa?

Purwokerto, 10 Februari 2020 Ada Apa?  ( Karya : Wardah Munfaati)  Hati gelisah tak terarah. Bayangan semu mulai mengalir tanpa arwah. Menatap bingung setiap dinding di depan mata. Mengamati puing-puing cahaya yang mulai meronta. Bunyi bising nyamuk merusak fokus. Kaki gelatakan karena kegatalan ulah si nyamuk. Aku benci, hati menggebu menyeruakkan hempasan nafas. Hati mengutuk keras, memicu amarah yang semakin meluas. Fikirku kalang kabut terbawa amarah. Hati tak terarah dengan fikir keras sebuah emosi. Semakin kuat otot emosiku, bualan-bualan hati semakin terlontar dengan keras. Aku benci, aku muak, aku benci, aku benci dan aku benci. Kata istighfar aku lantunkan dengan perlahan. Benciku tak terarah, muakku tak bertuan. Lantas sedang apakah diriku ini?

Sumringah

Purbalingga, 14 Januari 2020 Sumringah ( Karya : Wardah Munfaati)  Berkrudung putih dengan masker penutup hidungnya. Bergaya dengan kacamata dan alis tebal hasil gambarnya. Duduk di depan ruangan dengan berkas di sekelilingnya. Ibu ramah disampingnya bertutur dengan sopannya. Celetus keras selalu terdengar dari mulutnya. Meski masker terpakai rapat menutup mulut kecilnya. Tak terlihat garis senyum pada matanya, sampai aku tak luput menjadi sasaran celetuk kerasnya. Terdiam dengan pandangan pengamat, hingga hati mengumpat dengan kerasnya. Ndoro putri khayalnya, namun tak ada sopan santunnya. Selalu saja tak sadar dia dengan aturan kerjanya, atau tak tahu dengan kode etik profesinya. Pengalaman yang mahal harganya akan memupuk rasa hatinya. Sombong tak ada gunanya, apalagi kalau kau bukan siapa. Tuhan tak butuh rasa sombongmu, apa lagi ketidak sopananmu. Mari ingatkan diri, untuk selalu rendah hati.

Hari ini, Ada Apa?

Purbalingga, 13 Januari 2020 Hari ini, Ada Apa?  (Karya : Wardah Munfaati)  Keresahan akan kebijakan. Berkabut kalang mereka mencari perlindungan. Berlarian kesana kemari untuk meramu hari. Berlumuran lumpur dan menegaskan langkah untuk berjalan. Menunggu dengan penuh dan sesak sebuah antrian. Administrasi yang dirancang dengan sekuat pertahanan seolah mencancang nafas. Duduk dengan kesesakan, banyak diantara kami yang menahan sakit dalam perang antrian. Celetuk si tua sederhana namun mengena "ketika uang berbicara, mulut manusia mulai terbaca". Hanya berfikir dan memandang, selalu saja mencaci seolah luapan ringan sebuah emosi. Mereka bersabar dengan keluhan yang tertahan, mereka sadar merekalah yang membutuhkan. Seketika harapan mulai luntur, semakin terlihat keji sebuah aturan tanpa diskusi yang pasti. Tak pernah sadar mengapa rakyat kecil cenderung curang pada hal kecil, dan penguasa curang pada hal besar namun dianggap bersih? Saat ini kita yang salah a

Senyapku

Pubalingga, 05 Januari 2020 Senyapku ( Karya : Wardah Munfaati)  Sepi senyap malam memang nyaman, Kulihat dinding-dinding kamar dengan tenang, Suara kendaraan berlalu lalang seolah nada pengantar malam, Ribuan kata tergambar jelas di kesunyian, Tiap-tiap sepi mulai memapah kata untuk bersemayam, Mengais ribuan teriakan yang tak tersampaikan, Mengubah sepinya malam menjadi sebuah cambukan, Bertatap muka dengan kesalahan dan keegoisan, Bercermin diri untuk sebuah pengakuan yang tak terfikirkan, Sejatinya malam selalu damai dengan sebuah pengakuan, untuk berjalan di kesunyian, dan bangkit dalam keheningan, Jangan sesali harimu, tegaskan langkahmu untuk berjumpa dengan hari barumu, Pastikan langkahmu tak terdiam dalam bayangan hitam pilumu.