Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Rapuh

Purwokerto,  30 November 2019 Rapuh (Karya : Wardah Munfaati)  Bertepuk sebelah tangan untuk waktu yang dalam Ku dengar cerita lama terus bersemayam dan terlantunkan Cukup hati yang kuat untuk mendengar hingga tamat Berjalan untuk mengejar yang tak dapat digenggam Berlari dengan kuat untuk meraih yang tak nampak Berdiam, namun luka lama semakin menganga Cukup pintar memanipulasi muka namun tidak dengan rasa Bertahan hanya dengan rasa satu arah, bergulat dengan luka yang semakin nyata Cinta, klasik tentang memberi tanpa balasan yang sama Klasik dengan luka dengan sedikit bingkisan bahagia Mengerti dengan perih namun tidak dengan bodoh Logika ditumpulkan untuk memahat rasa yang semakin tumbuh Hingga kau lupa, pada akhirnya kau rapuh pula.

Berkali Rasa

Purwokerto, 24 November 2019 Berkali Rasa (Karya : Wardah Munfaati)  Si tua berbalut kain dengan payung digenggamannya Si kecil merengek di pangkuan bunda dengan elusan hangatnya Berbaur rasa dalam satu warna dengan balutan tempat yang sama Ketegangan rasa hadir antara si kaya dan tak punya Telinga terbuka untuk mendengar suara yang sama Mata tertuju menuju satu pandangan Kotak amal digilir untuk diisi bergilir Air hujan terus mengalir bersamaan riuh si kecil Mendengar ceramah dengan selfie yang megah Ikut bersorak untuk memeriahkan jamaah Si bapak tua hanya terdiam dengan payung ditangannya Menunggu si pemilik datang menghampiri dan pulang bersamanya Banyak air terus berjatuhan menuntun sore yang semakin lemah sorot cahayanya Banyak kita yang asik menghitung air jatuh, hingga lupa harumnya sore bersama.

Rembulan Malam

Purwokerto, 12 September 2019 Rembulan Malam (Karya : Wardah Munfaati)  Ku bubuhkan namamu dalam rangkaian doa sajakku. Ku simpan rapat bau harum rasa rinduku. Kiat-kiat rasa seolah menggebu untuk berjumpa. Membebaskan rindu yang terus meronta. Sabar menunggu jawabku. Tabir malam selalu datang dengan payung kesunyian. Menerbitkan harapan dengan sinar rembulan. Jika saja dingin malam tak selalu membiaskan luka dalam lamunan. Nyamuk yang datang, kemudian berlalang hilang. Kau selalu saja datang dalam rangkai kata yang hilang. Seolah pelengkap rasa sekaligus penyempurna gema sajakku. Jangan biarkan napak jejakmu hilang mengikuti jejak rembulan.

Bagaimana Kabarmu?

Purwokerto, 23 Agustus 2019 Bagaimana Kabarmu?  ( Karya : Wardah Munfaati)  Kemarilah, ada berapa untai kata yang ingin aku layangkan untukmu Angin semakin dingin, semakin menusuk kulit dan menembus tulangku Berkali-kali aku putar lagu sama yang bercerita tentangmu, bayangmu mulai jelas Bagaimana kabarmu? Hatiku masih milikmu, masih kamu yang menempati ruangnya Namun, jarak antara kita terlampau jauh Aku masih bisa menapak di bumi dengan bayangku Sedang dirimu, masih saja meninggalkan ribuan berkas kenangan yang sulit untuk aku pungut Ragamu tak lagi disini, namun kasihmu masih memeluk erat hatiku Bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu Meski ragamu telah terkubur, namun kasihku tak pernah terkubur

Kepastian Hati

Purbalingga,  04 Agustus 2019 Kepastian Hati (Karya : Wardah Munfaati)  Kita berada di persimpangan jalan yang berbeda. Komitmen sebuah rasa tidaklah mudah tantangannya. Persoalan rindu menjadi belati sakti yang melumat hati. Tentang jarak temu yang tak bertepi semakin berapi. Masih banyak tantangan untuk menjaga komitmen yang memagar hati. Untuk kamu yang masih setia dengan komitmen hati, tunggulah dia sampai menepi. Semoga kelak ia akan kembali dengan penuh kepastian hati. Menjaga hati bukan persoalan main setengah hati. Menjaga hati lebih berarti daripada kesana kemari tanpa tujuan yang pasti.

Cerita Hari Ini

Purbalingga, 15 Juni 2019 Cerita Hari Ini ( Karya : Wardah Munfaati)  Ada hati yang ditawarkan karena kesepian Ada sunyi yang datang karena kepergian Ada gelap yang nampak karena kepudaran sinar Kau datang mengisi waktu luang Pergi hilang tanpa pamitan Cerita Cinta selalu saja menjadi incaran Tentang Kasih sayang yang tak bertepian Dia datang dengan kepahitan, keasaman, dan kemanisan Muka berseri karena cekikikan sendiri Saat Kasih telah pergi, muka masam mulai menghampiri Begitulah kisah yang selalu mengisi hari Tentang muda mudi pada zaman ini Tak diingatkan lupa sendiri Saat diingatkan marah-marah sendiri Apa kabar negeri ini? Dengan generasi saat ini. Tulisan ini termasuk kritik untuk diri saya sendiri, jika kawan-kawan juga merasa. Sejatinya saya tidak berniat untuk menyindir anda. Jika ada kritik dan saran, jangan sungkan untuk komen. Karena saya juga masih dalam tahap belajar. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Salam literasi!

Rinduku Tak Dijamu

Purwokerto, 29 April 2019 Rinduku Tak Dijamu ( Karya : Wardah Munfaati)  Sunyi sepiku selalu saja mengadu Tentang rindu yang selalu menggebu Tentang kamu yang tak pernah bertemu Tentang janji yang selalu kau anggap ragu Tentang rasa yang kau anggap tabu Hadirku seoalah bayang semu, yang tak pernah kau jamu Frekuensi rasa kita tak bersatu, terhalang jarak membatasi temu Aku masih sama, menunggu kamu untuk bertemu Menunggu kamu mengadu rindu Dan menunggu kamu dengan akad temu untuk bersatu Menunggu kamu di depan rumahku Untuk mengadu langkah satu tuju Aku harap rinduku bukan rindu yang tak dijamu Namum rindu yang kau tunggu, dalam setiap doamu

Kutinggal Rasa Lama

Purwokerto, 31 Maret 2019 Kutinggal Rasa Lama (Karya : Wardah Munfaati)  Geming hati selalu berdetak tentang gema yang lalu Tawaran katanya selalu bergeming jelas di telinga Teriakmu terus bergetar di kejauhan Bayangmu masih saja terukir jelas di persimpangan jalan Bayangmu semakin jelas saat genang air hujan semakin deras Desir angin semakin nyata membawa kerinduanku Menggantungkan sumbu sumbu tanyaku di pelataran awan hitam Hingga hujan datang membawa bingkis kesunyian tentang kenyataan Bahwa harapanku telah luntur, terbawa hati yang semakin hancur

Lentera

Gubug Sekuping,  16 Maret 2019 Lentera (Karya : Wardah Munfaati)  Berjalan tak bisa kau sebut berlari Melompat tak bisa kau anggap merangkak Cinta bagai bohlam kecil yang selalu bersinar Membuat riang tiap pekerjaan, dan menelan tuntas setiap kesunyian Jalan terangnya selalu terpancar terang Kepak sayapnya membawa harapan terbang Segala hal menjadi bumerang kesenangan Terjatuh pun terasa nyaman, saat cinta ada di genggaman Kau tahu, saat nyalanya terang kau bahkan lupa dengan siluet kecil di pojokan Ia terus merangkak berteriak agar kau tak lupa dengan gelapnya Ruang jalanmu masih panjang, bohlam di ruangmu akan padam Lekas berjalan, akan ada sinar sejati yang menghadang Mentari selalu menunggumu di pagi hari Untuk senyum yang lebih terang

Tangis

Purbalingga, 10 Januari 2019 Tangis (Karya : Wardah Munfaati)  Tak ada tawa yang lebih ceria dari seorang balita. Tak ada tangis yang lebih mendalam dari tangis seorang ibu. Terkadang pura-pura menjadi balita agar bisa tertawa lepas bisa saja membuat muka tertawa tapi tidak dengan hati yang lega. Menjadi dewasa tak harus dengan pukulan keras yang menyiksa dengan tangisan jera. Kita hidup di rumpun yang berbeda, dengan takaran luka yang berbeda pula. Kadang harus menangis keras saat bahagia, bahkan tertawa lepas karena duka. Apresiasi ekspresi kita berbeda, ada yang dengan mengerutkan dahi karena bingung, ada juga yang menyipitkan mata karena bahagia. Rubik jalan kita berbeda ,persimpangan jalan yang membuat kita tertawa dan berduka pun berbeda. Selayaknya kupu-kupu yang terus terbang untuk mengais nektar, membuat tumbuhan berkembangbiak. Mengais luka untuk mekar bunga yang Indah.

Ruangku

Purbalingga ,10 Januari 2019 Ruangku (Karya : Wardah Munfaati)  Beri aku ruang sejenak untuk bernafas Beri aku ruang sejenak untuk berfikir Biarkan aku berputar di ruang hampa hingga aku lelah Berhenti untuk menghela nafas dan melangkah kembali Ruang ini luas, tapi aku merasa sesak dengan duri-duri ucapanmu Lentera malam seolah ruang kedap suara Mengayunkan angin malam dengan bahasa kesunyian Kumohon, beri aku ruang Untuk menghela nafas panjang, dan mencerna kesepian Beri aku ruang, untuk menata fikirku menjadi tenang Duduk merenung dibelakang pintu, seolah bersembunyi dalam belukar Menyenderkan kepala, agar fikir tertata Biarkan angin berlalu, dengan kabar sukar yang melingkar Biarkan aku dan ruangku berbicara

Terminal

Baleraksa,  09 Januari 2019 Terminal ( Karya : Wardah Munfaati)  Tempat penuh makna Berjalan di persimpangan jalan untuk menepi dan duduk di jajaran kursi yang tersedia Kaki yang terus berdetak seolah nada pengiring hempas nafas Tangan yang terus bergerak menolehkan arloji tanda pengingat waktu Masih sama saja, tempat yang penuh kerumun manusia dan kendaraan umum berjajar Ada yang dari mereka hanya singgah untuk menunggu waktu berlalu Singgah menepi untuk menunggu kawan ataupun sanak saudara menghampiri Ataupun memainkan nada pada gitar untuk mengorek kocek di saku penumpang yang singgah Keringat bercucur karena terik, biasa mereka dapati Tas jinjing dengan isi penuh, biasa pula dijumpai Mereka berlalu lalang terus berganti setiap harinya Ada yang dari mereka menetap dengan rutinitas yang sama Dengan kepulan asap kendaraan yang sama Dan dengan terik yang sama Terminal tempat jumpa penuh makna Sekilas langkah penuh warna Beribu muka pernah jumpa Bahtera singgah se